Jumat, 19 November 2010

PENTINGNYA MENJAGA KEBUDAYAAN INDONESIA

          Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.(http://id.wikipedia.org)
Sebagai seorang warga negara. kita wajib menjaga dsan melestarikan kebudayaan indonesia dari orang-orang asing yang ingin mengambil apa yang kita punya sejak dahulu.

Indonesia sejak dulu hingga kini selalu menjadi incaran negara asing untuk dijajah atau dijadikan negara boneka, contoh negara asing misalnya: Inggris, Portugis, Belanda, Jepang, USA, Singapore, Arab Saudi, dst. Alasan utama negara asing itu adalah: geo politik yang baik, kaya raya sumber alam, subur sekali, kaya akan laut yang berarti kaya akan ikan yang merupakan sumber pangan yang luar biasa, kaya manusia shg baik untuk pasar/konsumsi, indah sekali bak mutiara di katulistiwa, dst.
- Bung Karno (BK) adalah seorang jenius yang disegani oleh dunia internasional di masa hidupnya. BK mempunyai visi sangat jauh kedepan untuk Indonesia yakni Indonesia adalah: non blok, mandiri (berdikari = berdiri diatas kaki sendiri), berkepribadian kuat, berbasis Bhineka Tunggal Ika (pluralisme), serta berdasar Pancasila, dan tidak mau tergantung pada utang luar negeri (semboyan BK: “Go to hell with your aids!”). Pada usia yang masih muda (k.l. 30 tahun), Soekarno muda sudah berani menelorkan gagasan “Indonesia Menggugat” didepan pengadilan Belanda.
- Super power dunia saat itu (1960 s/d 1980) adalah USA yang kapitalis dan Rusia yang komunis. Kedua negara adidaya ini terusmenerus menjadi sumber kekacauan/pergolakan (atau dalang internasional) di banyak negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Indonesia dengan segala kelebihannya/kekayaan alamnya jelas merupakan target perebutan hegemoni oleh kedua negara adidaya tsb.
                                    Apakah anda mau indonesia di rebut oleh negara asing?
      Tentu tidakkan. kita sebagai negara indonesia harus memperjuangkan negara kita dari penjajah.tari pendet,lagu rasa sayane ,reog ponorogo dan pulau simpadat telah diklaim malaysia.apakah ingin lagi?
                         jadi pakah anda ingin tetapmelestarikan kebudayaan Indonesia atau hanya terdiam?

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME REFLEKSI DARI KETIDAKTERTIBAN SOSIAL

Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberan
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).


Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.

Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktek KKN ini merupakan salahsatu penyakit akut yang terjadi dimasa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat saja.

Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.

Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini.

Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.

Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.

Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.

Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus matarantainya.

Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti seperti halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari "mewah". Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Artinya pokok permasalahan dari korupsi adalah bagaimana pola pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi ? Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan menumpuk kekayaan atau secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan disalurkan bagi yang membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral.

Hal ini berarti bicara bagaimana pola tingkah laku, peresapan ajaran agama, moralitas dan hal-hal lain yang mempengaruhi mental seseorang. Begitu pula halnya dengan kolusi dan nepotisme yang akar permasalahannya terletak pada kekalahan dari idealisme sosial yang berisi nilai-nilai yang dapat menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Kolusi dan nepotisme telah menjadi kebiasaan dalam struktural masyarakat kita. Hal ini bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan merupakan barang yang mahal saat ini. Tapi untuk sebagian orang yang melewati jalan belakang ini sangatlah mudah. Misalnya cukup dengan membayar sejumlah uang dalam jumlah besar atau dengan membawa surat sakti dari "orang kuat" atau melobi keluarga dekat yang berada dalam struktur lapangan kerja yang diinginkan. Bila ini diimbangi dengan kualitas yang bagus tidak masalah, walaupun rasa keadilan tetap masih ternodai. Tapi kalau kualitasnya jelek, ini sama saja dengan menempatkan orang yang bukan ahlinya yang kelak justru akan menambah pada kehancuran. Parahnya hal ini seakan telah menjadi prosedural bukan saja diinstitusi swasta tapi juga di pemerintahan.

Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku tersebut dijerat oleh hukum? Atau justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan menentang jalur-jalur belakang ini atau justru lahir sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti adanya tertib nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat. Dengan berubahnya pola tingkahlaku yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan, agama dan etika moral akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi Undang-undang saja. Jadi perlu adanya keseimbangan antara tertib sosial dan tertib hukum untuk dapat mencapai reformasi yang mensejahterakan masyarakat.

MENJADI PELAJAR IDEAL (Harapan Orang Tua, Guru, Bangsa & Agama)

Sekolah merupakan jembatan emas menuju masa depan yang gemilang. Dengan bersekolah orang belajar berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk mempersiapkan masa depan. Mereka yang sukses selalu mereka yang bersekolah. Jarang (bahkan tidak ada) buta huruf & buta aksara yang meraih sukses. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa setiap orang yang bersekolah (automaticly) akan memiliki masa depan yang cerah. Karena masa depan merupakan sesuatu yang berbeda dengan masa sekarang. Masa sekarang (bersekolah) terasa sangat indah, romantis, bersahabat dan nyaman. Sementara masa depan yang berjarak lima, delapan, atau sepuluh tahun dari sekarang akan diwarnai oleh persaingan (kompetisi), dan tuntutan kebutuhan hidup yang kompleks.
Pada era globalisasi, kita tidak hanya berkompetisi dengan kerabat sekampus atau sekampung. Tetapi setiap orang (mau atau tidak mau) akan berkompetisi dengan orang lain dari berbagai belahan bumi. Ada orang Amerika, Inggris, Australia, Malaisia, Singapore, Arab Saudi, dan lain-lain. Jaminan untuk bertahan (eksis) adalah keterampilan dan profesionalisme. Setiap orang mesti memiliki keterampilan dan/untuk menjalani profesi tertentu.
 Keterampilan merupakan seperangkat keahlian (teknis) untuk menyelesaikan pekerjaan atau tugas tertentu dalam tempo yang relatif singkat. Keterampilan yang didukung oleh konsep dan apresiasi terhadap pekerjaan secara fokus, konprehensif dan utuh akan melahirkan profesionalisme. Untuk memiliki profesi (menyandang status profesional) orang mesti memiliki keterampilan, pekerjaan dan kualifikasi pendidikan yang koheren. Artinya, keterampilan, dan pekerjaannya didasari oleh kualifikasi pendidikan yang relevan; atau sebaliknya kualifikasi pendidikan mendukung keterampilan dan pekerjaannnya.
Oleh karena itu, perencanaan studi, profesi, karier dan masa depan merupakan salah satu hal yang penting bagi anak sekolah selain prestasi akademik. Sejak di bangku sekolah keputusan tentang profesi yang akan dipilih harus dibuat.
          Berdasarkan dua kriteria tersebut yakni perencanaan masa depan dan prestasi akademik, maka tipe pelajar dapat dibagi dalam 6 kategori.

1. Pelajar tipe A
Dalam klasifikasi ini, pelajar tipe A ditandai oleh prestasi akademik yang tinggi dan perencanaan masa depan yang jelas. Secara akademis, nilai raport mereka berada pada rentangan angka 7,5 – 9. Nilai raport tersebut secara obyektif dan valid mencerminkan kemampuan berpikir, menghafal, menalar, menulis, berhitung, menganalisis, aplikasi, kesopanan, dan akhlakul karimah. Pada sisi lain, dalam pikiran atau perasaannya telah tergambar (visualisasi) seseorang yang profesional. Mungkin ia menggambarkan dirinya sebagai dokter, tentara, guru, ustadz, mekanik, wartawan, pegiat sosial, penulis pada tiga, lima atau delapan tahun dari sekarang.

2. Pelajar tipe B
Pelajar tipe B ditandai oleh prestasi akademik sedang dan memiliki perencanaan masa depan yang jelas. Secara akademis, nilai raport mereka berada pada rentangan angka 6 – 7,5. Nilai raport tersebut secara obyektif dan valid mencerminkan kemampuan berpikir, menghafal, menalar, menulis, berhitung, menganalisis, aplikasi, yang tiak terlalu brilyan. Nilai raport tersebut juga mencerminkan dan akhlakul karimah. Meskipun tidak terlalu brilyant, dalam pikiran atau perasaannya telah tergambar (visualisasi) seseorang yang profesional. Mungkin ia menggambarkan dirinya sebagai perawat, dokter, tentara, guru, ustadz, mekanik, montir, pedagang, kontraktor, wartawan, pegiat sosial, penulis pada tiga, lima atau delapan tahun dari sekarang.

3. Pelajar tipe C
Pelajar tipe C ditandai oleh prestasi akademik yang rendah tetapi memiliki perencanaan masa depan yang jelas. Secara akademis, nilai raport mereka berada pada rentangan angka 5 – 6. Angka tersebut merupakan angka repetisi (mengulang) kelas setelah tinggal kelas. Nilai raport tersebut secara obyektif dan valid mencerminkan kemampuan berpikir, menghafal, menalar, menulis, berhitung, yang rendah. Meskipun demikian, dalam pikiran atau perasaannya telah tergambar (visualisasi) seseorang yang profesional. Mungkin ia menggambarkan dirinya sebagai tentara, mekanik, pegiat sosial, pedagang, pengendara (driver), satpam, karyawan pada tiga, lima atau delapan tahun dari sekarang.

4. Pelajar tipe D
Pelajar tipe D ditandai oleh prestasi akademik yang tinggi tetapi tidak memiliki perencanaan masa depan yang jelas. Secara akademis, nilai raport mereka berada pada rentangan angka 7,5 - 9. Nilai raport tersebut secara obyektif dan valid mencerminkan kemampuan berpikir, menghafal, menalar, menulis, berhitung, menganalisis, aplikasi, kesopanan, dan akhlakul karimah. Meskipun demikian, ia tidak memiliki arah dan cita-cita yang realistis. Ia hanya menggambarkan dirinya menjadi orang yang hebat, terkenal, dan tersohor. Gambaran tersebut bersifat sumir. Tidak real.

5. Pelajar tipe E
Pelajar tipe E ditandai oleh prestasi akademik yang sedang tetapi tidak memiliki perencanaan masa depan yang jelas. Secara akademis, nilai raport mereka berada pada rentangan angka 6 - 7,5. Nilai raport tersebut secara obyektif dan valid mencerminkan kemampuan berpikir, menghafal, menalar, menulis, berhitung, menganalisis, aplikasi, kesopanan, dan akhlakul karimah. Secara akademis tergolong menengah. Meskipun demikian, ia tidak memiliki arah dan cita-cita yang realistis. Sama seperti pelajar tipe D, ia menggambarkan dirinya (pada masa depan) menjadi orang yang hebat, terkenal, dan tersohor, tetapi tidak konkrit/real. Mungkin ia berpandangan bahwa suatu saat (di masa yang akan datang) setelah merampungkan studi (sekolah) ia akan bekerja pada organisasi atau instansi atau perusahaan

6. Pelajar tipe F
Pelajar tipe F ditandai oleh prestasi akademik yang rendah dan tidak memiliki perencanaan masa depan yang jelas. Secara akademis, nilai raport mereka sangat jelek. Sebagaimana halnya pelajar pada tipe C mereka tinggal kelas, dan baru naik kelas setelah mengulang. Kemampuan berpikir, menghafal, menalar, menulis, berhitung, hanya pas-pasan. Di samping itu mereka tidak memiliki arah dan cita-cita yang realistis. Ia bahkan tidak pernah atau tidak berani menggambarkan dirinya menjadi orang yang profesional. Ia bersekolah hanya untuk mengikuti irama sosial. Boleh jadi di sekolah ia tidak memiliki motivasi.
          Berdasarkan klasifikasi tersebut di atas, maka menjadi pelajar ideal berarti menjadi pelajar tipe A & B. Ciri khas pelajar tipe A & B adalah memiliki perencanaan masa depan yang real sejak dini. Di samping itu mereka juga memiliki intelegensi yang baik. Prestasi akademik dan akhlak mereka baik. Dengan karakteristik tersebut mereka menjadi orang yang sangat diharapkan oleh orang tua, guru, bangsa, negara dan agama.